Salah satu institusi sosial yang paling terdampak di masa pandemi Covid-19 adalah institusi keluarga. Sebagai satuan paling inti dalam sebuah masyarakat, keluarga di masa pandemi Covid-19 ini menghadapi sebuah revolusi yang tidak pernah diduga sebelumnya. Meskipun demikian, banyak orangtua yang sampai hari ini masih terus berharap situasi akan kembali kepada keadaan semula sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Harapan tersebut telah mengakibatkan keluarga sangat lambat beradaptasi dengan situasi. Belakangan malah muncul "gerakan putus asa", meskipun kecil, menuntut supaya segalanya dikembalikan ke normal seperti sebelum pandemi. Tetapi, ternyata keluarga menghadapi kenyataan bahwa setelah lama dinantikan, tampaknya situasi tidak akan pernah kembali lagi ke masa lalu, sehingga proses revolusi peran keluarga tidak dapat dihindari akan semakin terus berlanjut hingga saat yang belum diketahui.
Harapan tersebut telah mengakibatkan keluarga sangat lambat beradaptasi dengan situasi. Belakangan malah muncul "gerakan putus asa", meskipun kecil, menuntut supaya segalanya dikembalikan ke normal seperti sebelum pandemi. Tetapi, ternyata keluarga menghadapi kenyataan bahwa setelah lama dinantikan, tampaknya situasi tidak akan pernah kembali lagi ke masa lalu, sehingga proses revolusi peran keluarga tidak dapat dihindari akan semakin terus berlanjut hingga saat yang belum diketahui.
Muncul berbagai situasi baru dalam keluarga; pertengkaran baru, cara hidup yang baru, kehangatan yang baru, kebersamaan yang baru. Keluarga tiba-tiba menjadi sekolah, menjadi kantor, atau menjadi pusat jualan online.
Istilah "normal baru" yang selama ini telah digemakan di tengah masyarakat sebenarnya merupakan pengakuan alam bawah sadar bahwa suasana yang dinikmati sebelum masa pandemi tidak akan pernah kembali lagi. Karena hal itu sudah dianggap tidak normal, maka dibahasakan telah datang situasi normal yang baru, yaitu situasi hidup di tengah pandemi Covid-19.
Implikasi dari hal tersebut adalah terjadi perubahan besar-besaran di hampir semua aspek kehidupan manusia, baik di dunia kerja, dunia pendidikan, transportasi, model transaksi perekonomian, bahkan hingga perubahan tata cara beragama. Dan, semua hal baru tersebut harus direspons oleh keluarga sebagai tempat semua manusia berpulang setelah menjalani aktivitas sehari-hari dalam hidupnya.
Kita sering mendengar ungkapan bahwa keluarga yang kuat akan menjadi dasar bagi negara yang kuat. Dalam situasi pandemi saat ini juga dapat diartikan bahwa cara terbaik untuk menghadapi dunia baru di masa pandemi Covid-19 dan setelahnya adalah penguatan peran keluarga. Keluarga harus ditolong untuk memahami situasi yang baru ini.
Revolusi yang sedang melanda institusi keluarga harus diberi pengawalan oleh pihak-pihak yang berkompeten, khususnya pemerintah sebagai pihak yang akan mendulang manfaat tertinggi jika keluarga berada dalam keadaan stabil secara ekonomi, kesehatan, maupun sosial.
Dapat dibayangkan bagaimana beban keluarga saat ini telah menjadi sekolah untuk belajar anak-anak, menjadi kantor untuk bekerja para orangtua, dan harus menjadi tempat paling aman untuk hidup di masa pandemi. Kita harus terus meningkatkan budaya baru ini dan menyempurnakannya, karena situasi tidak akan kembali surut ke belakang.
Bahkan di masa yang akan datang kita akan menghadapi berbagai kemungkinan pandemi yang lain dan sangat berpotensi untuk bermutasi lebih ganas lagi, maka kesiapan keluarga untuk beradaptasi adalah jawaban terbaik. Dengan melihat perilaku virus Covid-19, maka hanya kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungan yang dapat diandalkan untuk menjadi kekuatan menghadapi berbagai virus yang bermutasi dan menimbulkan pandemi, dan basis dari semua itu adalah ketahanan keluarga.
Percepatan Adaptasi
Pemerintah dapat menjadi katalisator percepatan adaptasi yang dilakukan oleh keluarga terhadap situasi pandemi Covid-19 serta membantu untuk menyiapkan antisipasi situasi pandemi lainnya di masa datang. Perlu dicatat bukan hal yang kebetulan pandemi Covid-19 ini muncul pada saat manusia telah siap menghadapinya, yang ditandai dengan kemampuan manusia dalam menguasai teknologi jarak jauh dan perkembangan internet yang saat ini telah menjadi jawaban atas situasi yang ditimbulkan oleh pandemi, di mana kehidupan tetap bisa berjalan meski terpaksa harus melalui dunia maya.
Tetapi, tetap saja keluarga menghadapi tantanngan besar untuk menghadapi situasi ini; relasi yang berubah, tiba-tiba orangtua menjadi guru bagi anak anak di rumah, tiba tiba orang-tua menjadi imam salat atau memimpin ibadah di rumah, tiba-tiba anak-anak kehilangan kontak fisik dengan teman sebaya di sekolah. Pendek kata, keluarga perlu mendapat pendampingan untuk menjalani ini semua.
Dalam bahasa Arab ada ungkapan terkenal al ummu madrosatul ula yang artinya ibu adalah sekolah pertama bagi anak. Tampaknya situasi pandemi Covid-19 telah mengembalikan keluarga kepada fitrahnya sebagai sekolah utama bagi anak-anak. Pertanyaan mendasar adalah seberapa banyak keluarga yang siap menjadi sekolah bagi anak-anaknya? Jawabannya terletak pada sejauh mana keluarga mendapatkan penguatan.
Jika keluarga mampu melewati masa revolusi ini, maka dunia baru akan hadir dengan kualitas yang lebih baik yang ditandai oleh besarnya peran keluarga terhadap berbagai aktivitas manusia di masa depan. Ditandai oleh nilai-nilai keluarga yang kembali hidup dan pada akhirnya negara yang paling kuat adalah negara yang mampu mendampingi keluarga dalam melewati masa revolusi peran keluarga di masa pandemi ini dengan segala upaya.